Pagi ini saya menelpon Ibu di kampung. Ngobrol ngalor ngidul yang berujung ke harga cabe. Saya cerita kemarin saat melihat berita, di Kalimantan sana harga cabe Rp 150 ribu per kilo.”Masyaallah, byiuh-byiuh. 150 sekilo cabe”. Ibu saya kaget, kok sampek segitunya harga cabe. Saat saya tanya memang di sini (kampungku) harga cabe berapa? Ibuku bilang rata-rata Rp 40 ribu lebih perkilo. Tapi sempat juga Rp 60 ribu. “Untungnya kita gak pernah beli, cabe yang kita tanam sendiri itu cukup buat sehari-hari”. Kata ibuku lagi.
Beralih ke obrolan lain dan ngomongin tentang baju. Saya bilang ke ibu saya gak usah beli baju, nanti aku beliin saat pulang kampung. Ibuku bilang “oalah, beli baju saja nunggu kamu” keburu mahal nduk. Begitu jawab ibuku.
Ibuku lalu cerita, kemarin waktu ke pasar pas jalan di depan penjual baju ketemu tetangga yang mau beli celana dalam sedang tawar-menawar harga. Pembeli menawar harga yang sangat jauh dari harga yang di tentukan penjualnya. Mungkin karena jengkel sang penjual pun bilang “harga lombok aja mahal sekarang, baju daleman juga mahal bu”.
Saya hanya tertawa mendengar cerita ibu saya. Kok bisa ya? Mahalnya harga cabe ternyata membawa berkah juga buat penjual baju. Ikut-ikutan juga menaikkan harga. Masih menurut cerita ibu saya, katanya sekarang smua harga kebutuhan pokok di kampung mahal. Makanya harus pintar-pintar ngatur pengeluaran. Sudah gitu di kampung juga lagi musim orang nikah jadi banyak undangan. “Kasian ni yang punya gawe kalo harga cabe mahal terus” Jawabku sekenanya.
Ada baiknya dan untungnya kalo punya lahan sendiri di gunakan untuk menanam cabe atau sayuran. Bisa mengurangi pengeluaran tiap hari.
Tiap hari harga-harga sembako bukannya turun tapi selalu naik terus.
Lalu, negara Indonesia yang kata nenek moyang kita dulu “gemah ripah loh jinawi” itu sekarang kemana ya??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar